QATULISTIWA ISLAM
Qatulistiwa Islam UKK UNP III UNIVERSITAS NEGERI PADANG III Mesjid Al-Azhar Lt3 III Qatulistiwa Islam UKK UNP III Mesjid Al-Azhar Lt3 III
Sabtu, 04 November 2017
Sabtu, 19 Agustus 2017
Mintalah Pendapat Pada Hatimu
Mintalah Pendapat Pada Hatimu
Setiap orang memiliki cermin di dalam diri, itulah hati nurani. Perkataan hati nurani adalah kejujuran. Anjurannya
adalah kebaikan. Kecenderungannya adalah pada kebenaran, sifatnya
adalah kasih sayang. Ia akan tenang bila kita berbuat baik dan gelisah
bila kita berbuat dosa. Bila ia bersih dan sehat maka ia akan menjadi
juru bicara Tuhan di dalam diri kita. Bila ia bening dan berkilat maka
ia akan menangkap wajah Tuhan. Hanya sayangnya kita sering mencampakkan nurani kita sendiri bahkan membunuhnya dengan perilaku-perilaku kita.
Curang hanya demi serupiah keuntungan, bohong hanya untuk kesenangan
sesaat, kikir padahal harta melimpah, dengki terhadap kebahagian orang
lain, menolak kebenaran karena sebuah gengsi. Akibatnya nurani kita
tertutup dan mati sehingga tidak dapat membedakan mana yang baik dan
mana yang buruk.
Seorang sahabat Nabi Saw yang bernama Wabishah ra datang dengan
menyimpan pertanyaan di dalam hatinya tentang bagaimanakah cara
membedakan antara kebajikan dan dosa. Sebelum Wabishah bertanya, cermin
hati Nabi Saw telah menangkap isi hatinya. ”Wahai Wabishah, mau aku jawab langsung atau engkau utarakan pertanyaanmu terlebih dahulu?” Wabishah menjawab,” Jawab langsung saja, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda,”Engkau datang untuk bertanya bagaimana membedakan antara kebajikan dan dosa.” Wabishah berkata, “Benar.” Beliau Saw merapatkan jari-jarinya dan menempelkannya pada dada Wabishah, seraya bersabda “Mintalah
pendapat pada hatimu dan mintalah pendapat pada jiwamu, wahai Wabishah.
Sesuatu itu adalah kebaikan bila ia membuat hati tenteram, membuat jiwa
tenteram, sedangkan dosa membuat kegelisah dalam hati dan kegoncangan
dalam dada.(Mintalah pendapat pada hatimu dan mintalah pendapat pada
jiwamu), meskipun orang-orang telah memberikan pendapat mereka kepadamu
tentang hal itu.” ( HR.al-Darimi dari Wabishah ra )
Namun bagi orang yang berhati munafik, banyak berbuat dosa dan maksiat
akan sulit sekali mendapatkan pertimbangan hati. Karena hatinya sudahnya
tertutup oleh tumpukan dosa, sehingga sulit membedakan mana yang benar
dan mana yang salah dan tidak ada lagi rasa malu atau perasaan tidak enak ketika melakukan suatu perbuatan berdosa.Hati,
mata, dan telinganya sudah ditutup. Makanya orang tersebut sering
sekali melakukan dosa, misalnya berdusta/berbohong dan akan terus
dilakukannya tanpa ada perasaan bersalah/berdosa lagi.
Sekarang ini cobalah kita tanyakan dengan jujur pada diri kita sendiri,
pada posisi mana kita berada saat ini. Apakah kita termasuk orang yang
merasa ”tidak nyaman” ketika kita mau melakukan perbuatan dosa? Atau
kita tidak merasakan ketidaknyamanan itu lagi? Kalau iya, kita masih
merasakan ketidaknyamanan, kegelisahan ketika kita mau melakukan suatu
perbuatan dosa, maka bersyukurlah, itu berarti hati nurani kita masih
hidup dan pertahankan serta tingkatkanlah, ketakwaan, keimanan dan
kedekatan kita kepada Allah. Namun jika ternyata kita temukan diri
kita, sudah tidak pernah merasakan rasa bersalah, gelisah, saat kita mau
dan sudah melakukan perbuatan dosa, maka segera bertobatlah, karena
jangan-jangan kita sudah terlalu lama berada dalam kelompok orang-orang
yang tidak malu melakukan dosa, atau merasa biasa-biasa saja ketika
melakukan suatu perbuatan dosa yang kita anggap sebagai dosa kecil,
misalnya berdusta? Tanyakan dengan jujur pada diri kita masing-masing,
dan hanya kita sendiri yang bisa menjawabnya.
Wahai Tuhan yang membolak-balikkan hati, tetapkan hatiku untuk
senantiasa berpegang pada agama-Mu. (HR Muslim, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Islam Iman Dan Ihsan
Assalamu’alaikum, teman-teman semua, mohon maaf, bila saya agak
terlambat menjawab komentar teman-teman, karena sedang ada kesibukan
yang cukup padat, tapi InsyaAllah, semaksimal mungkin, akan saya
usahakan menjawab semuanya, harap maklum, terima kasih (Dewi Yana)
———————————————————————————————–
Dienul Islam mencakup tiga hal, yaitu: Islam, Iman dan Ihsan. Islam
berbicara masalah lahir, iman berbicara masalah batin, dan ihsan
mencakup keduanya. Ihsan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari iman,
dan iman memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari Islam. Tidaklah
ke-Islaman dianggap sah kecuali jika ada iman, karena konsekuensi dari
syahadat mencakup lahir dan batin.
Pada saat Malaikat Jibril bertanya tentang konsep Iman, Islam dan
Ihsan, Rasulullah Saw menjawab, ”Bahwa Iman ialah hendaklah Engkau
mengimankan Allah, Malaikat Allah, Kitab kitab Allah, para Utusan Allah,
Hari Qiyamat, dan mengimankan Taqdir, baik dan buruknya adalah
ketentuan Allah. Islam ialah hendaklah engkau bersaksi bahwasanya tidak
ada Tuhan yang patut disembah melainkan Allah, dan nabi Muhammad adalah
UtusanNya, mendirikan Shalat, Menunaikan Zakat, berpuasa Ramadhan, dan
berangkat Haji bila telah mampu. Sedangkan Ihsan yaitu hendaklah engkau
beribadah kepada Allah seperti engkau melihatNYA, apabila tidak bisa
demikian , maka sesungguhnya Allah melihat engkau”. (HR. Bukhari)
Ihsan berasal dari kata hasana yuhsinu, yang artinya adalah berbuat
baik, sedangkan bentuk masdarnya adalah ihsanan, yang artinya kebaikan.
Allah swt. berfirman. “Jika kamu berbuat baik, (berarti) kamu berbuat
baik bagi dirimu sendiri…” (QS Al-Isra’: 7). Dan irfman Allah : “Dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) seperti halnya Allah berbuat baik
terhadapmu….” (QS. Al-Qashash: 77)
Ibnu Katsir menafsirkan ayat di atas dengan mengatakan bahwa kebaikan
yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah kebaikan kepada seluruh
makhluk Allah Swt
Ihsan adalah puncak ibadah dan akhlak yang senantiasa menjadi target
seluruh hamba Allah Swt. Sebab, ihsan menjadikan kita sosok yang
mendapatkan kemuliaan dari-Nya. Sebaliknya, seorang hamba yang tidak
mampu mencapai target ini akan kehilangan kesempatan yang sangat mahal
untuk menduduki posisi terhormat di mata Allah Swt. Rasulullah Saw pun
sangat menaruh perhatian akan hal ini, sehingga seluruh ajaran-ajarannya
mengarah kepada satu hal, yaitu mencapai ibadah yang sempurna dan
akhlak yang mulia.
Oleh karenanya, seorang muslim hendaknya tidak memandang ihsan itu
hanya sebatas akhlak yang utama saja, melainkan harus dipandang sebagai
bagian dari akidah dan bagian terbesar dari keislamannya. Karena, Islam
dibangun di atas tiga landasan utama, yaitu iman, Islam, dan ihsan,
seperti yang telah diterangkan oleh Rasulullah saw. dalam haditsnya yang
shahih. Hadist ini menceritakan saat Raulullah saw. menjawab pertanyaan
Malaikat Jibril yang menyamar sebagai seorang manusia mengenai Islam,
iman, dan ihsan. Setelah Jibril pergi, Rasulullah Saw. bersabda kepada
para sahabatnya, “Inilah Jibril yang datang mengajarkan kepada kalian
urusan agama kalian.” Beliau menyebut ketiga hal di atas sebagai agama,
dan bahkan Allah Swt. memerintahkan untuk berbuat ihsan pada banyak
tempat dalam Al-Qur`an.
“Engkau mengabdi kepada Allah, seakan-akan engkau melihat Dia. Kalau
engkau tidak dapat melihat-Nya, yakinlah Dia pasti melihatmu.” (HR.
Muslim)
Terjemahan hadis di atas merupakan potongan terjemahan hadis tentang
Islam, iman, ihsan, dan tanda-tanda datangnya hari kiamat yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim. Lengkapnya terjemahan hadis tersebut
adalah sebagai berikut. ”Dari Umar ra, beliau berkata : Pada suatu hari
ketika kami duduk di dekat Rasulullah Saw, tiba-tiba muncul seorang
laki-laki yang berpakaian sangat putih dan rambutnya sangat hitam. Pada
dirinya tidak tampak bekas dari perjalanan jauh dan tidak ada seorang
pun di antara kami yang mengenalnya. Kemudian ia duduk di hadapan Nabi
Saw, lalu mendempetkan kedua lututnya ke lutut Nabi, dan meletakkan
kedua tangannya di atas kedua pahanya, kemudian berkata, “Wahai
Muhammad, terangkanlah kepadaku tentang Islam.” Kemudian Rasulullah Saw
menjawab, “Islam yaitu hendaklah engkau bersaksi tiada sesembahan yang
hak disembah kecuali Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan
Allah. Hendaklah engkau mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa pada
bulan Ramadan, dan mengerjakan haji ke rumah Allah jika engkau mampu
mengerjakannya.” Orang itu berkata, “Engkau benar ” Kami menjadi heran,
karena dia yang bertanya dan dia pula yang membenarkannya. Orang itu
bertanya lagi, “Lalu terangkanlah kepadaku tentang iman” Rasulullah Saw
menjawab, “Hendaklah engkau beriman kepada Allah, beriman kepada para
malaikatNya, kitab-kitabNya, para utusanNya, hari akhir, dan hendaklah
engkau beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk” Orang tadi
berkata, “Engkau benar” Lalu orang itu bertanya lagi ”Lalu
terangkanlah kepadaku tentang ihsan.” (Beliau) menjawab, “Hendaklah
engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Namun,
jika engkau tidak dapat (beribadah seolah-olah) melihat-Nya,
sesungguhnya Ia melihat engkau.” Orang itu berkata lagi, “Beritahukanlah
kepadaku tentang hari kiamat ” Beliau menjawab, “Orang yang ditanya
tidak lebih tahu daripada yang bertanya.” Orang itu selanjutnya berkata,
“Beritahukanlah kepadaku tanda-tandanya” Beliau menjawab, “Apabila
budak melahirkan tuannya dan engkau melihat orang-orang Badui yang
bertelanjang kaki, yang miskin lagi penggembala domba berlomba-lomba
dalam mendirikan bangunan.” Kemudian orang itu pergi, sedangkan aku
tetap tinggal beberapa saat lamanya. Lalu Nabi Saw bersabda, “Wahai
Umar, tahukah engkau siapa orang yang bertanya itu ?” Aku menjawab,
“Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Lalu beliau bersabda, “Dia
itu adalah malaikat Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan
agama kalian.” (HR. Muslim)
Ihsan diartikan sebagai penglihatan diri Allah Swt kepada hamba-Nya
dan penglihatan diri hamba kepada Allah Swt, hal ini dapat kita
contohkan seperti sebuah cermin, di mana kita dapat melihat diri kita
melalui cermin tersebut. Orang yang berbuat baik (muhsin) adalah orang
yang dapat melihat Allah Swt baik melalui zat (nanti di hari kiamat)
maupun sifatNya, dan apabila tidak bisa melihatNya maka yakinlah Allah
Swt melihatnya. Dengan demikian, muraqabah yaitu perasaan diri diawasi
oleh Allah Swt dalam segala hal, merupakan hal penting dan utama untuk
dilakukan karena muraqabah adalah merupakan ihsan itu sendiri
Ihsan meliputi tiga aspek yang fundamental. Ketiga hal tersebut
adalah ibadah, muamalah, dan akhlak. Kita berkewajiban ihsan dalam
beribadah, yaitu dengan menunaikan semua jenis ibadah, seperti shalat,
puasa, haji, dan sebagainya dengan cara yang benar, yaitu menyempurnakan
syarat, rukun, sunnah, dan adab-adabnya. Dengan kesadaran penuh bahwa
Allah senantiasa memantaunya hingga ia merasa bahwa ia sedang dilihat
dan diperhatikan oleh Allah, minimal akan membuatnya dapat menunaikan
semua ibadah dengan sungguh-sungguh dan baik. Inilah maksud dari
perkataan Rasulullah Saw yang berbunyi, “Hendaklah kamu menyembah Allah
seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tak dapat melihat-Nya,
maka sesungguhnya Dia melihatmu.”
Kini jelaslah bagi kita bahwa sesungguhnya arti dari ibadah itu
sendiri sangatlah luas. Maka, selain jenis ibadah yang kita sebutkan
tadi, yang tidak kalah pentingnya adalah juga jenis ibadah lainnya
seperti jihad, hormat terhadap mukmin, mendidik anak, menyenangkan
isteri/suami, bekerja, meniatkan setiap apapun yang kita lakukan untuk
mendapat ridha Allah. Oleh karena itulah Rasulullah Saw menghendaki
umatnya senantiasa dalam keadaan seperti itu, yaitu senantiasa sadar
jika ia ingin mewujudkan ihsan dalam ibadahnya.
Ihsan dijelaskan Allah Swt. pada surah An-Nisaa’ ayat 36 : “Sembahlah
Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan
berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh
dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan
diri.” (QS. An-Nisaa’ 36)
Dalam bekerja, sebaiknya kita bekerja secara Ihsan, bekerja secara
ihsan adalah bekerja dengan ikhlas, bekerja dengan mengharapkan pahala
dan ridha dari Allah Swt. Seorang yang bekerja secara ihsan akan
melaksanakan pekerjaannya dengan sepenuh hati, baik ketika berada di
halayak ramai maupun ketika berada sendirian sehingga dia boleh
menghasilkan yang terbaik. Rasulullah Saw bersabda ” Sebaik-baik usaha
adalah usaha tangan seorang pekerja apabila dia mengerjakannya dengan
tulus” (HR. Ahmad)
Rasulullah Saw bersabda” Sesungguhnya Allah mencintai seorang pekerja
apabila bekerja secara ihsan” (Diriwayatkan Baihaqi dan Thabrani dari
Kulaib bin Syihab al-Jurmi). Sesungguhnya Allah mewajibkan berlaku
“ihsan” (bekerja secara berkualitas) atas segala sesuatu (HR. Muslim).
Jika kita ingin melihat nilai ihsan pada diri seseorang yang
diperoleh dari hasil ibadahnya, maka kita akan menemukannya dalam
muamalah kehidupannya. Bagaimana ia bermuamalah dengan sesama manusia,
lingkungannya, pekerjaannya, keluarganya, dan bahkan terhadap dirinya
sendiri.
Langganan:
Postingan (Atom)